Metro - Siang itu, ditengah terik matahari
yang sangat menyengat, tepatnya setelah sholat dzuhur di Masjid Ulul Albab UM
Metro kumasukkan kelima jariku kedalam kantong tas gendongku yang paling kecil.
Sambil memandangi komputerku yang sedang mengupdate beberapa berita terkini
tentang UM Metro, tanganku meraba-raba isi dalam tas. Kuputar-putar tanganku
kearah yang berlawanan, kupegang satu-satu barang yang ada didalamnya namun tak
kudapati apa yang sedang kucari. Kuulangi hingga beberapa kali melakukan hal
yang sama namun masih tetap tak kunjung kutemui. Tak puas dengan tangan
kananku, tangan kiri yang dari tadi tergantung luntai mulai mengaktifkan indra pengertiannya
guna membantu untuk mencari. Ia mulai meraba bagian kantong celanaku satu
persatu namun hasilnya tetap nihil.
Terlintas
di dalam hati, apakah gerangan tersebut tertinggal dikuda besi kesayanganku
yang sedang kuparkir tepat didepan mataku yang terhalang kaca ruang kerja. Kuamati
dengan cermat dari kejauhan barangkali desiran hati itu benar adanya. Lagi-lagi
tak kujumpai hal yang kuinginkan. Irama kesal dalam hati mulai merambat kelubuk
yang paling dalam dengan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang menusuk kejam
dimanakah ia berada.
Tangan
kananku mulai berinisiatif membuka bagian demi bagian kantong tasku yang
terdiri dari tiga bagian. Ia keluarkan barang didalamnya satu demi satu. Ia
raba setiap barang yang ia keluarkan dengan penuh kehati-hatian takut
terselinap saat fokusnya tak bisa ia kendalikan.
Mata
yang biasa menatap tajam mulai dipenuhi kecemasan, sambil memandang kearah jumlah
satuan detik dan menit yang berada tepat dipojok kanan bawah monitor, kulihat waktu
sudah menunjukkan pukul 13.15 WIB tanda ponakkanku sudah pulang dari sekolah. “Waktu penjemputan telah tiba, aku tak mau
terlambat menjemputnya,” bisikku. Hingga kujumpai sosok hitam melingkar
terjepit diantara dua lembaran kertas yang tergeletak tepat diatas meja depan
mataku. Dalam hati terbersit, “kemana
saja engkau merantau wahai anak bandel (eits bukan anak bandel yang dimaksud
tapi sejenis barang) yang tak punya rasa
iba. Tega-teganya tuanmu sedang mencari, namun engkau malah asyik
sembunyi-sembunyi diapit dua lembaran kertas yang tak bertinta,” gumamku.
Lalu
kutarik ia dengan mengayunkan langkah kaki menuju ke halaman parkir kendaraan
yang terlihat tidak jauh dari pandanganku, terpampang luas bersebelahan dengan
gedung rektorat milik UM Metro. Langkah demi langkah mengayun pelan namun
pasti, ia menuju kearah satu pusat tujuan dimana ada dua roda yang berdiri
tegak dengan tulisan SUPRA-X 125 keluaran tahun 2011 milik teman sekantorku. Kuambil
helmnya sambil menghadapkan wajahku tepat di papan kaca lebar di sebelah kiriku.
Sembari berteriak, “Mas Benten...!!! Pinjem Helmnya ya?!!”
Eits...
Sebelum engkau bertanya kenapa aku harus teriak meminjem helm hari ini. Mohon
perkenankan saya memberi penjelasan sebentar:
Hingga saat saya berdiri di halaman parkir ini, tepat 16 jam saya kehilangan helm merah dengan merk KYT yang sedang bertengger di atas motorku. Kisah ini bermula saat hendak menunaikan shalat Isyak di Masjid Darul Ulum dekat rumahku, kubawa motor dan helmku menuju ke arah lantunan suara adzan. Meski antara rumah dan masjid jaraknya hanya 100 meter. Namun malam itu, aku harus membawa motor dan helmku. Bukan berarti hal ini bertujuan gaya-gayaan tapi lebih tepatnya ada alasan yang terkandung di dalamnya.
Malam itu, rencana mengunjungi ayah angkatku yang sedang sakit di rumahnya pekalongan telah kuputuskan. Takut kemalaman tiba disana, kurancang agar membawa serta helm dan motorku ke masjid supaya setelah usai melaksanakan sholat aku bisa langsung meluncur ke lokasi tujuan. Ku parkirkan motorku di sebelah kanan pintu masjid, ku ikuti gerakan demi gerakan imam saat ia melantunkan takbir. Tiba-tiba pas di rakaat kedua, tak terdengar satu gas-pun suara motor yang masuk, namun malah ada teriakan mesin motor matic yang mengaung dengan kencang mengarah keluar dari halaman masjid. Sedikit terlintas di dalam hatiku, jangan-jangan motorku yang diambil. “Wah gawat ini, motor satu-satunya hilang. Padahal Bapak harus memeras keringat dan membanting tulang agar bisa membelikannya untukku,” gumamku dalam hati.
Tapi jangan
bertanya kenapa motor tersebut Bapakku yang membelikan bukan hasil jerih payah
sendiri. Mending fokus sama ceritanya saja ya.
Saat usai menunaikan sholat, ku tarik wajahku segera kearah kanan untuk melihat apakah motornya masih ada disana. “Ternyata hanya salah anggapan,” gumamku lagi. Sesaat kemudian di saat shalat sunnah ku terselesaikan, ku tatapi perlahan kendaraanku seperti ada hal yang kurang padanya. Ops! Benar saja, Helm merahku di bawa orang yang tadi. “Sial!” teriakku dalam hati.
Dengan hati tiga per empat mengikhlaskan dan sedikit jengkel, ku posting kisah tersebut di facebook pribadiku barangkali ada yang melihat status memilukan ini bersamaan mereka melihat helmku sehingga ia dengan pelan menghubungiku sembari berkata, “Helm anda sedang bersamaku.”
Benar saja, tak lama postingan tersebut duduk bersama statusku yang lain, komen-komen dari sahabat dan dosenku mulai bermunculan dari yang mengungkapkan turut prihatin, memesankan kesabaran hingga mengungkapkan hal yang sama. Namun fokus kisah flashback ini ada baiknya kita sudahi dulu ya.
“Mas Benten...!!! Pinjem helmnya
ya,” teriakku sekali lagi.
“Iya
silahkan!” teriaknya balik.
Seringnya
bercandaan dengannya menjadikanku mengulangi kata tersebut beberapa kali. Hingga
yang terakhir kalinya ku ambil helm abu-abu miliknya sambil menuju ke arah kuda
besi berwarna merah yang terparkir 5 meter dariku. Dari kejauhan tampak ada hal
yang ganjal di atas motorku. Kuamati sedikit demi sedikit sambil mendekatinya,
seolah-olah ada bungkusan berwarna kemerahan sedang nangkring diatasnya.
“Ah! Palingan
punya orang yang sedang nitip tempat lantaran alasan ini dan itu,” bisikku.
Ketika ku
duduki jok hitam empuk motorku, ku lihat helm baru yang berbungkus kain putih
tergantung di cantelan motor beat keluaran tahun 2013 tersebut. Ku buka
perlahan, “wah merknya pun belum terlepas,” teriak hatiku.
“Mas
Benten....!!! Aku gak jadi pinjem helmnya. Aku dah punya yang baru!!!”
teriakku.
“What!!!” teriak
mereka (baca: beberapa orang yang mendengar)
“Tapi helm
misterius ini dari siapa?” gumamku.
Saat itu, rasa
senang bercampur haru tak mengayalkan siapa yang memberi. Meski sekilas dalam
hati dua deretan kata yang tepat menggambarkan pemberinya sudah singgah di
otakku. Kutarik ia keluar dari bungkusnya sembari kuamati lekukkannya yang
molek dengan warna khas yang kusukai. Ku coba mainkan main visior-nya sambil membuang merk yang tergantung luntai berwarna kuning.
Ku lepas perlahan
tapi pasti kertas film yang menempel di main visior-nya. Ku letakkan
ia di atas jokku sembari mengeluarkan smart phone kesayanganku. Ku sentuh bagian
pojok bawah kanan sebelum menggeser layar untuk membuka camera. Ku arahkan lensanya sambil kutarik sedikit ke arah bawah seolah-olah
sedang mencari angle
agar menghasilkan foto yang berkualitas.
Cerita ini
sengaja kutulis untuk berterima kasih kepada orang yang telah mengeluarkan
sebagian isi dompetnya guna berbagi kepadaku. Saya benar-benar terharu
dibuatnya. Hanya orang-orang yang mempunyai sifat luar biasa dermawan yang rela
berbagi meski dengan identitas tak diketahui. Memberi dengan tangan kanan tanpa
diketahui sedikitpun oleh tangan kiri. Terima kasih banyak atas helm merahnya. Semoga
helm merah ini dapat menjadi amal jariyah yang akan menghasilkan pahala setiap
kali ku memamakainya. Aamiin.
Helm Misterius dari Siapa?
Reviewed by bigbungs
on
16.21
Rating:
Tidak ada komentar: